Mengenal vaksin yang dapat dimakan (EDIBLE VACCINE)
Peranan vaksin dalam
penanggulangan dan pencegahan penyakit infeksi telah sejak lama kita ketahui.
Terutama sejak dunia terbebas dari penyakit cacar, akibat keberhasilan para
peneliti dalam menghasilkan vaksin cacar yang dapat menjangkau masyarakat di
seluruh pelosok terpencil sekalipun di seluruh dunia, saat ini dunia terbebas
dari penyakit cacar yang mematikan itu. Namun demikian tidak semua program
vaksinasi ini berhasil dengan baik. Sekitar 20% bayi-bayi yang dilahirkan belum
terjangkau oleh vaksinasi, sehingga tingkat kematian balita akibat penyakit
infeksi di seluruh dunia masih tinggi hingga mencapai 3-5 juta balita
pertahunnya. Menurut Arnzten (1997) kondisi tersebut sangat mengkhawatirkan
para pemerhati kesehatan, terutama dengan semakin tingginya mobilitas penduduk
dunia dari belahan dunia yang satu ke belahan lainnya, akan mempercepat
penyebaran penyakit infeksi.
Beberapa faktor
penting penyebab kegagalan vaksinasi antara lain adalah harga vaksin yang
mahal, menurunnya efeksifitas vaksin akibat distribusi yang tidak baik, cara
penyimpanan vaksin yang tidak tepat, tidak adanya kotak pendingin dalam
pendistribusiannya, dan sebagian besar vaksin harus diberikan dengan cara
penyuntikan, dll. Keadaan ini mempengaruhi ketersediaan vaksin terutama di
negara-negara miskin, dimana justru penyakit-penyakit infeksi tersebut sangat
tinggi angka kesakitan dan kematiannya. Keterbatasan-keterbatasan tersebut telah
memacu para peneliti untuk menemukan suatu terobosan baru dalam teknologi
pembuatan dan cara pemberian vaksin. Bentuk vaksin yang diminati adalah vaksin
yang dapat dikonsumsi tanpa harus menyuntikkannya atau tanpa harus disimpan di
ruang pendingin sehingga memudahkan pendistribusiannya.
Untuk dapat
menyelesaikan beberapa masalah di lapangan berkaitan dengan vaksinasi penyakit
endemik, maka edible vaccine muncul
sebagai jawaban atas keterbatasan yang dimiliki oleh vaksin konvensional. Edible vaccine adalah tanaman yang di
rekayasa secara genetik untuk memproduksi vaksin sebagai produk pertanian dalam
bentuk buah dan sayuran. Tanaman ini disisipi gen yang memproduksi protein
sebagai epitop suatu penyakit yang bila masuk ke dalam tubuh kita dapat
berfungsi sebagai vaksin. Dengan model ini tanaman berfungsi sebagai bioreaktor
atau pabrik yang memproduksi vaksin berupa buah atau sayur yang dapat
dikonsumsi langsung. Beberapa jenis tanaman yang dipakai sebagai tanaman inang
adalah pisang, tomat, kentang, padi, kedelai, wortel, jagung, kacang-kacangan
dan tembakau.
Menurut Haq dan Hood Fragmen
DNA bakteri atau virus yang dikloning ke dalam suatu tanaman ini merupakan gen
yang akan mengkode pembentukan protein, yang biasanya dipilih protein yang
terletak dipermukaan sel bakteri atau virus, sehingga bila tanaman tersebut
dikonsumsi akan menghasilkan respon imun. Sistem kekebalan tubuh yang terbentuk
akan dapat mengenali epitop spesifik pada permukaan sel bakteri dan virus, yang
masuk ke dalam tubuh, sehingga akan terhindar dari infeksi bakteri atau virus
tersebut.
Salah satunya adalah
pisang transgenik yang mengandung protein yang bersifat sebagai vaksin yang
mengandung protein yang berasal bakteri atau virus merupakan buah transgenik
yang sangat diminati. Pohon pisang yang dapat tumbuh di seluruh dunia terutama
di negara-negara tropis ini banyak dikonsumsi oleh penduduk. Buah pisang dapat
langsung dimakan tanpa perlu dimasak terlebih dahulu, sehingga protein (vaksin)
yang dikandungnya tidak mengalami degradasi oleh pemanasan. Menurut Haq jika
balita diberi makan pisang transgenik ini, di dalam tubuhnya akan diproduksi
imunoglobulin yang dapat melindungi mereka dari penyakit infeksi. Sejak saat
itu, dalam 10 tahun terakhir ini berbagai penelitian untuk memproduksi beberapa
jenis protein dan imunogen untuk kebutuhan farmasi dan kedokteran telah
berkembang pesat.
Teknologi tanaman transgenik
memiliki beberapa keuntungan yang antara lain adalah tanaman inang dapat
dipilih dari jenis tanaman lokal, murah, dan dapat ditanam dengan teknologi
sederhana sesuai dengan daerah tumbuhnya, dan dapat diproduksi sebanyak mungkin
sesuai dengan kebutuhan tanpa teknologi tinggi, lebih murah karena tidak perlu
purifikasi, lebih mudah didistribusikan karena lokasi produksi (penanaman)
lebih dekat, tidak memerlukan penyimpanan pada suhu dingin, dan bagi
negara-negara berkembang tidak lagi bergantung dengan negara maju dan aplikasi
di lapang lebih mudah khususnya untuk anak-anak karena cukup dengan makan
makanan yang biasa, dan tidak perlu melatih tenaga paramedis untuk melakukan
imunisasi. Disamping itu, tanaman edible vaccine ini juga disebutkan memiliki
stabilitas genetik yang tinggi.
Sejauh ini, edible
vaccine umumnya masih dalam taraf uji coba prakinikal. Namun demikian, beberapa
uji coba pada manusia telah menunjukan hasil yang menggembirakan. Pembuatan edible
vaccine diutamakan untuk menangani penyebab penyakit diare (Norwalk virus,
Rotavirus, Vibrio cholera dan
enterotoxigenic E. Coli), karena
penyakit ini dianggap telah menjadi penyebab kematian bayi yang besar di
negara-negara miskin. Penyakit penting lain juga menjadi target ialah
hepatitis. Vaksin ini juga diharapkan dapat digunakan untuk menangani penyakit
yang lain seperti rabies.
Disamping memiliki
kelebihan, edible vaccine juga memiliki beberapa kelemahan yang perlu mendapat
perhatian. Diantaranya ialah dalam menentukan dosis yang tepat berhubungan
dengan ukuran dan tingkat kemasakan buah atau sayur yang akan dikonsumsi
berbanding dengan keadaan tubuh pengguna. Pengguna bisa jadi mengkonsumsi
vaksin terlalu banyak yang menyebabkan keracunan, atau terlalu sedikit yang
menyebabkan salah perhitungan.
Selain itu, sebagai
produk tanaman transgenik, edible vaccine dikhawatirkan memiliki efek yang sama
sebagaimana tanaman GMO yang lain. Kontaminasi tanaman transgenik berupa
penyebaran polen, perpindahan melalui serangga, atau mikroba melalui tanah,
terhadap lingkungan sekitarnya tidak dapat dihindari. Tanaman transgenik memungkinkan
juga menghasilkan produk yang berbahaya atau menyebabkan alergi. Demikian juga
produk rekayasa genetik dianggap berbahaya karena dalam prosesnya menggabungkan
organisme yang sangat beda termasuk vektor dari bakteri dalam prosesnya, yang
mungkin juga mengandung resiko lebih, karena DNA yang disisipkan dapat dengan
mudah terintegrasi ke dalam material genom yang selanjutnya mengalami
perbanyakan dan mutasi. Akibatnya ini hanya dapat diketahui dalam jangka yang
panjang. Jadi, masih memerlukan waktu yang lama agar edible vaccine ini
benar-benar siap pakai sebagaimana layaknya.
DAFTAR PUSTAKA
Endang Sukara dan Imran SL Tobing.
Industri Berbasis Keanekaragaman Hayati, Masa Depan Indonesia. 2008. http://download.portalgaruda.org/article.php?article=59772&val=4487.
Diakses pada tanggal 09 Maret 2015 pukul 09.17 WIB.
Maksum Radji. Pemberian Vaksin
Melalui Tanaman Transgenik. 2004. https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=6&cad=rja&uact=8&ved=0CDoQFjAF&url=http%3A%2F%2Fwww.researchgate.net%2Fprofile%2FMaksum_Radji%2Fpublication%2F266265152_PEMBERIAN_VAKSIN_MELALUI_TANAMAN_TRANSGENIK%2Flinks%2F542bc8410cf277d58e8a3542.pdf&ei=4QwFVbuSNdWGuAS0hoLIAg&usg=AFQjCNHXt3V3f_U4okplZfOJFgArG3otmA&sig2=L2oK1JKu8W9hr1bwHR9Z5Q
Diakses pada tanggal 09 Maret 2015 pukul 09.00 WIB.
Santoso, P.J. Mengenal Edible
Vaccine. 2011. http://hortikultura.litbang.pertanian.go.id/IPTEK/vaksin.pdf
Diakses pada tanggal 14 Maret
2015 Pukul 11.41 WIB.