Sabtu, 14 Maret 2015

EDIBLE VACCINE

Mengenal vaksin yang dapat dimakan (EDIBLE VACCINE)


Peranan vaksin dalam penanggulangan dan pencegahan penyakit infeksi telah sejak lama kita ketahui. Terutama sejak dunia terbebas dari penyakit cacar, akibat keberhasilan para peneliti dalam menghasilkan vaksin cacar yang dapat menjangkau masyarakat di seluruh pelosok terpencil sekalipun di seluruh dunia, saat ini dunia terbebas dari penyakit cacar yang mematikan itu. Namun demikian tidak semua program vaksinasi ini berhasil dengan baik. Sekitar 20% bayi-bayi yang dilahirkan belum terjangkau oleh vaksinasi, sehingga tingkat kematian balita akibat penyakit infeksi di seluruh dunia masih tinggi hingga mencapai 3-5 juta balita pertahunnya. Menurut Arnzten (1997) kondisi tersebut sangat mengkhawatirkan para pemerhati kesehatan, terutama dengan semakin tingginya mobilitas penduduk dunia dari belahan dunia yang satu ke belahan lainnya, akan mempercepat penyebaran penyakit infeksi.
Beberapa faktor penting penyebab kegagalan vaksinasi antara lain adalah harga vaksin yang mahal, menurunnya efeksifitas vaksin akibat distribusi yang tidak baik, cara penyimpanan vaksin yang tidak tepat, tidak adanya kotak pendingin dalam pendistribusiannya, dan sebagian besar vaksin harus diberikan dengan cara penyuntikan, dll. Keadaan ini mempengaruhi ketersediaan vaksin terutama di negara-negara miskin, dimana justru penyakit-penyakit infeksi tersebut sangat tinggi angka kesakitan dan kematiannya. Keterbatasan-keterbatasan tersebut telah memacu para peneliti untuk menemukan suatu terobosan baru dalam teknologi pembuatan dan cara pemberian vaksin. Bentuk vaksin yang diminati adalah vaksin yang dapat dikonsumsi tanpa harus menyuntikkannya atau tanpa harus disimpan di ruang pendingin sehingga memudahkan pendistribusiannya.
Untuk dapat menyelesaikan beberapa masalah di lapangan berkaitan dengan vaksinasi penyakit endemik, maka edible vaccine muncul sebagai jawaban atas keterbatasan yang dimiliki oleh vaksin konvensional. Edible vaccine adalah tanaman yang di rekayasa secara genetik untuk memproduksi vaksin sebagai produk pertanian dalam bentuk buah dan sayuran. Tanaman ini disisipi gen yang memproduksi protein sebagai epitop suatu penyakit yang bila masuk ke dalam tubuh kita dapat berfungsi sebagai vaksin. Dengan model ini tanaman berfungsi sebagai bioreaktor atau pabrik yang memproduksi vaksin berupa buah atau sayur yang dapat dikonsumsi langsung. Beberapa jenis tanaman yang dipakai sebagai tanaman inang adalah pisang, tomat, kentang, padi, kedelai, wortel, jagung, kacang-kacangan dan tembakau.
Menurut Haq dan Hood Fragmen DNA bakteri atau virus yang dikloning ke dalam suatu tanaman ini merupakan gen yang akan mengkode pembentukan protein, yang biasanya dipilih protein yang terletak dipermukaan sel bakteri atau virus, sehingga bila tanaman tersebut dikonsumsi akan menghasilkan respon imun. Sistem kekebalan tubuh yang terbentuk akan dapat mengenali epitop spesifik pada permukaan sel bakteri dan virus, yang masuk ke dalam tubuh, sehingga akan terhindar dari infeksi bakteri atau virus tersebut.
Salah satunya adalah pisang transgenik yang mengandung protein yang bersifat sebagai vaksin yang mengandung protein yang berasal bakteri atau virus merupakan buah transgenik yang sangat diminati. Pohon pisang yang dapat tumbuh di seluruh dunia terutama di negara-negara tropis ini banyak dikonsumsi oleh penduduk. Buah pisang dapat langsung dimakan tanpa perlu dimasak terlebih dahulu, sehingga protein (vaksin) yang dikandungnya tidak mengalami degradasi oleh pemanasan. Menurut Haq jika balita diberi makan pisang transgenik ini, di dalam tubuhnya akan diproduksi imunoglobulin yang dapat melindungi mereka dari penyakit infeksi. Sejak saat itu, dalam 10 tahun terakhir ini berbagai penelitian untuk memproduksi beberapa jenis protein dan imunogen untuk kebutuhan farmasi dan kedokteran telah berkembang pesat.
Teknologi tanaman transgenik memiliki beberapa keuntungan yang antara lain adalah tanaman inang dapat dipilih dari jenis tanaman lokal, murah, dan dapat ditanam dengan teknologi sederhana sesuai dengan daerah tumbuhnya, dan dapat diproduksi sebanyak mungkin sesuai dengan kebutuhan tanpa teknologi tinggi, lebih murah karena tidak perlu purifikasi, lebih mudah didistribusikan karena lokasi produksi (penanaman) lebih dekat, tidak memerlukan penyimpanan pada suhu dingin, dan bagi negara-negara berkembang tidak lagi bergantung dengan negara maju dan aplikasi di lapang lebih mudah khususnya untuk anak-anak karena cukup dengan makan makanan yang biasa, dan tidak perlu melatih tenaga paramedis untuk melakukan imunisasi. Disamping itu, tanaman edible vaccine ini juga disebutkan memiliki stabilitas genetik yang tinggi.
Sejauh ini, edible vaccine umumnya masih dalam taraf uji coba prakinikal. Namun demikian, beberapa uji coba pada manusia telah menunjukan hasil yang menggembirakan. Pembuatan edible vaccine diutamakan untuk menangani penyebab penyakit diare (Norwalk virus, Rotavirus, Vibrio cholera dan enterotoxigenic E. Coli), karena penyakit ini dianggap telah menjadi penyebab kematian bayi yang besar di negara-negara miskin. Penyakit penting lain juga menjadi target ialah hepatitis. Vaksin ini juga diharapkan dapat digunakan untuk menangani penyakit yang lain seperti rabies.
Disamping memiliki kelebihan, edible vaccine juga memiliki beberapa kelemahan yang perlu mendapat perhatian. Diantaranya ialah dalam menentukan dosis yang tepat berhubungan dengan ukuran dan tingkat kemasakan buah atau sayur yang akan dikonsumsi berbanding dengan keadaan tubuh pengguna. Pengguna bisa jadi mengkonsumsi vaksin terlalu banyak yang menyebabkan keracunan, atau terlalu sedikit yang menyebabkan salah perhitungan.
Selain itu, sebagai produk tanaman transgenik, edible vaccine dikhawatirkan memiliki efek yang sama sebagaimana tanaman GMO yang lain. Kontaminasi tanaman transgenik berupa penyebaran polen, perpindahan melalui serangga, atau mikroba melalui tanah, terhadap lingkungan sekitarnya tidak dapat dihindari. Tanaman transgenik memungkinkan juga menghasilkan produk yang berbahaya atau menyebabkan alergi. Demikian juga produk rekayasa genetik dianggap berbahaya karena dalam prosesnya menggabungkan organisme yang sangat beda termasuk vektor dari bakteri dalam prosesnya, yang mungkin juga mengandung resiko lebih, karena DNA yang disisipkan dapat dengan mudah terintegrasi ke dalam material genom yang selanjutnya mengalami perbanyakan dan mutasi. Akibatnya ini hanya dapat diketahui dalam jangka yang panjang. Jadi, masih memerlukan waktu yang lama agar edible vaccine ini benar-benar siap pakai sebagaimana layaknya.

DAFTAR PUSTAKA
Endang Sukara dan Imran SL Tobing. Industri Berbasis Keanekaragaman Hayati, Masa Depan Indonesia. 2008. http://download.portalgaruda.org/article.php?article=59772&val=4487. Diakses pada tanggal 09 Maret 2015 pukul 09.17 WIB.
Santoso, P.J. Mengenal Edible Vaccine. 2011. http://hortikultura.litbang.pertanian.go.id/IPTEK/vaksin.pdf  Diakses pada tanggal 14 Maret 2015 Pukul 11.41 WIB.


Rabu, 25 Desember 2013

Pupuk Bakteri

Pemanfaatan agens hayati telah banyak digunakan dalam pengendalian hayati yang efektif dan efisien untuk mengatasi beberapa jenis penyakit pada tanaman dan merangsang pertumbuhan pada tanaman. Agen pengendalian hayati ini dapat dikatakan sebagai pupuk biologis yang terdapat di alam, salah satu mikroorganisme yang berperan sebagai pupuk biologis adalah bakteri Pseudomonas flourescens yang dimanfaatkan sebagai agens hayati untuk beberapa jamur dan bakteri pathogen pada tanaman.
P. fluorescens merupakan bakteri gram negatif yang sebagian besar bersifat non-patogenik dan saprofitik pada tanah dan daerah rizosfer tanaman. P. flourescens termasuk kedalam bakteri yang dapat ditemukan dimana saja (ubiquitous), seringkali ditemukan pada bagian tanaman (permukaan daun dan akar) dan sisa tanaman yang membusuk, tanah dan air sebagai sumber nutrisi untuk pertumbuhannya. Bakteri ini memproduksi pigmen biru kehijauan pada saat kandungan Fe (besi) yang rendah serta dapat tumbuh baik pada media yang mengandung garam-garam mineral dengan tambahan sumber karbon yang beragam (Ratdiana 2007).
P. fluorescens dimanfaatkan sebagai pupuk dikarenakan bakteri ini merupakan agens antagonis yang potensial dengan menghasilkan antibiotik dan siderofor. Siderofor berfungsi dalam menghambat pertumbuhan pathogen dimana P. fluorescens  mengikat ion Fe3+ dari lingkungan sehingga patogen tidak dapat memanfaatkan senyawa tersebut dan mengakibatkan pertumbuhan cendawan terhambat (Leong 1988 dalam Hamdan et al. 1991) oleh karena pertumbuhan cendawan terhambat maka tanaman akan tumbuh tanpa adanya pathogen. Antibotik tersebut berperan pula dalam menekan perkembangan pathogen yang ada di lingkungan pertanaman sehingga P. fluorescens dapat berkembang secara optimal untuk dijadikan pupuk.
Kemampuan P. flourescens untuk menekan populasi patogen diasosiasikan dengan kemampuannya untuk melindungi akar dari infeksi patogen tanah dengan cara mengkolonisasi permukaan akar, menghasilkan senyawa kimia seperti antijamur dan antibiotik serta kompetisi dalam penyerapan kation Fe (Supriadi, 2006). Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa P. flourescens dapat mengendalikan: penyakit layu fusarium pada tanaman pisang (Djatnika I,2003); penyakit virus kuning pada tanaman cabai (Yulmira Y, 2009); penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum) pada tanaman kacang tanah (Suryadi, Y, 2009).
Selain sebagai penghambat tumbuhnya cawan pada pathogen P. flourescens yang hidup didaerah perakaran tanaman dapat berperan sebagai jasad renik pelarut fosfat, mengikat nitrogen dan menghasilkan zat pengatur tumbuh bagi tanaman sehingga dengan kemampuan tersebut P. flourescens dapat dimanfaatkan sebagai pupuk biologis yang dapat menyediakan hara untuk pertumbuhan tanaman, dimana P. flourescens merupakan penghasil fitohormon dalam jumlah yang besar khususnya IAA untuk merangsang pertumbuhan. IAA merupakan hormon pertumbuhan kelompok auksin yang sangat besar peranannya dalam pertumbuhan tanaman (Heddy 1986 dalam Marwoso 2005). Dilaporkan oleh Tjondronegoro et al. (1989), bahwa pengaruh auksin antara lain: memanjangkan dan membesarkan sel batang, menghambat proses absisi yaitu pengguguran daun, merangsang pembentukan buah, penghambat pucuk lateral yaitu menghambat pertumbuhan tunas ketiak dan dapat merangsang pertumbuhan kambium serta membentuk pertumbuhan floem dan xilem sekunder.
Beberapa contoh produk yang telah menggunakan P. fluorescens sebagai agens hayati antara lain: BlightBan A506, Conquer dan Victus. Produk tersebut tersedia dalam bentuk serbuk dan cairan yang dapat langsung diaplikasikan ke tanaman (Cook 2002).

Daftar Pustaka
Muriel E. Rhodes. The Characterization of Pseudomonas fluorescens. http://mic.sgmjournals.org/content/21/1/221.full.pdf. 2005. Diakses pada tanggal 19 Desember 2013 pukul 09.25 WIB.
Anonim. Tinjauan Pustaka. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789 /4653/A11akr_BAB%20II%20Tinjauan%20Pustaka.pdf?sequence=6. 2011. Diakses pada tanggal 19 Desember 2013 pukul 09.03 WIB.
Ardiana Kartika B. Teknik Eksplorasi dan Pengembangan Bakteri Pseudomonas flourescens. http://www.laboratoriumphpbanyumas.com/isiwebsite/AGNSIA%20HAYATI/eksplorasi%20Pseudomonas%20flouresens.pdf . 2012. Diakses pada tanggal 19 Desember 2013 pukul  09.09 WIB.

Selasa, 24 Desember 2013

UAS Media Pembelajaran Biologi (PPT Interaktif Transpor Aktif, Endositosis, dan Eksositosis)

PPT interaktif sebagai tugas UAS , silahkan dilihat dan semoga bermanfaat :)

https://www.dropbox.com/s/ep559t70x0jvdwb/Biologi3A_Egi%20Ramadah_29_UAS.rar

Uraian Materi Sistem Transpor Aktif, Endositosis, dan Eksositosis



A.    Transport Aktif
Transpor aktif adalah pengangkutan zat terlarut melintasi membran melawan gradient konsentrasinya dengan menggunakan energi. Semua protein transport yang menggerakkan zat terlarut melawan gradien konsentrasi merupakan protein pembawa, bukan protein saluran. Hal ini masuk akal sebab ketika terbuka, protein saluran  hanya membiarkan zat terlarut mengalir menuruni gradient konsentrasinya, bukan mengambil dan mentranspornya melawan gradiennya.
Transport aktif memungkinkan sel mempertahankan konsentrasi internal zat terlarut kecil yang berbeda dari konsentrasi dilingkungan. Misalnya, dibandingkan dengan lingkungannya, sel hewan memiliki konsentrasi ion kalium yang lebih tinggi dan konsentrasi ion natrium yang jauh lebih rendah. Membran plasma membantu mempertahankan gradient curam ini dengan memompa natrium keluar sel dan kalium kedalam sel.
Seperti pada tipe kerja selular yang lain, ATP menyediakan energy bagi sebagian besar transport aktif. Salah satu cara ATP dapan meyuplai tenaga bagi transport aktif adalah dengan mentransfer gugus fosfat terminalnyasecara langsung ke protein transport. Ini dapat menginduksi protein agar berubah bentuk sedemikian rupa sehingga mentranslokasi zat terlarut yang terikat keprotein sehingga melintasi membran. Contoh dari Transpor aktif adalah mekanisme transport ion kalium dan natrium seperti gambar dibawah ini.


 


Gambar 1. Pompa natrium-kalium: contoh spesifik transport aktif.  Sistem transport ini memompa ion melawan gradient konsentrasi yang curam: konsentrasi ion natrium (disimbolkan sebagai [Na+])tinggi diluar sel dan rendah didalam, sementara konsentrasi ion kalium ([K+]) rendah diluar sel dan tinggi didalam. Pompa ini mengalami perubahan dua bentuk silih-berganti dalam siklus pemompaan yang mentranslokasi tiga ion Natrium keluar sel untuk setiap dua ion kalium yang dipompakan ke dalam sel. Kedua bentuk pompa memiliki afinitas yang berbeda untuk kedua jenis ion. ATP menyuplai tenaga bagi perubahan bentuk ini dengan cara memfosforilasi protein transport tersebut (artinya dengan mentransfer satu gugus fosfat keprotein).
B.     Endositosis
Pada endositosis (endocytosis), sel mengambil molekul biologis dan partikel dengan cara membentuk vesikel baru dari membrane plasma. Walaupun protein yang terlibat dalam kedua proses transport massal berbeda, peristiwa endositosis terlihat seperti kebalikan eksositosis. Daerah kecil pada membrane plasma melekuk kedalam membentuk kantong. Ketika bertambah dalam, kantong pun terlepas dari membrane plasma, membentuk vesikel yang mengandung materi yang sebelumnya berada di luar sel. Ada tiga tipe endositosis diantaranya:
1.      Fagositosis (phagocytosis)
Dalam fagositosis (phagocytosis), sel menelan partikel dengan cara menyelubungi partikel dengan pseupodia (tunggal, pseupodium) dan mengemasnya dalam kantong berselaput- membrane yang cukup besar untuk digolongkan sebagai vakuola. Partikel dicerna setelah vakuola berfusi dengan lisosom yang mengandung enzim-enzim hidrolotik.

2.      Pinositosis (pinocytosis)
Pinositosis (pinocytosis), sel ‘meneguk’ droplet-droplet pada cairan ekstraseluler kedalam vesikel kecil. Bukan cairan itu sendiri yang dibutuhkan oleh sel, melainkan molekul-molekul yang terlarut dalam droplet tersebut. Karena semua zat yang terlarut ditelan oleh sel, zat-zat yang ditranspor oleh pinositosis tidak bersifat spesifik.

3.      Endositosis diperantarai-reseptor (receptor-mediated endocytosis)
Endositosis diperantarai-reseptor (receptor-mediated endocytosis) memungkinkan sel memperoleh zat spesifik dalam jumlah besar, meskipun zat tersebut mungkin tidak terdapat terlalu banyak dalam cairan ekstraseluler. Protein reseptor biasanya telah mengumpul diwilayah-wilayah membrane yang disebut ceruk berselaput, dengan bagian yang menghadap sitoplasma (sisi sitoplasmiknya) dilapisi oleh lapisan rapat protein selaput. Zat-zat spesifik (ligan) berikatan dengan reseptor-reseptor ini. Ketika pengikatan terjadi, ceruk berselaput membentuk vesikel yang mengandung molekul ligan. Setelah materi yang ditelan ini dibebaskan dari vesikel, reseptor dikembalikan ke membrane plasma oleh vesikel yang sama.

Gambar 2. Mekanisme endositosis

C.    Eksositosis
Eksositosis adalah mekanisme transpor molekul besar seperti protein dan polisakarida, melintasi membran plasma dari dalam ke luar sel (sekresi) dengan cara menggabungkan vesikula berisi molekul tersebut dengan membran plasma.  Vesikula transpor yang lepas dari aparatus Golgi dipindahkan oleh sitoskeleton ke membran plasma. Ketika membran vesikula dan membran plasma bertemu, molekul lipid membran menyusun ulang dirinya sendiri sehingga kedua membran bergabung. Kandungan vesikulanya kemudian tumpah ke luar sel. Banyak sel sekretoris menggunakan eksositosis untuk mengirim keluar produk-produknya.  Misalnya sel tertentu dalam pankreas menghasilkan hormon insulin dan mensekresikannya ke daam darah melalui eksositosis.  Contoh lain adalah neuron atau sel saraf yang menggunakan eksositosis untuk melepaskan sinyal kimiawi yang merangsang neuron lain atau sel otot. Ketika sel tumbuhan sedang membuat dinding, eksositosis mengeluarkan karbohidrat dari vesikula Golgi ke bagian luar selnya.

Gambar 3. Mekanisme Eksositosis

Rabu, 27 November 2013

Peta Konsep

Peta Konsep. Transpor Aktif, Endositosis, Eksositosis)



Sumber : Champbell. Biologi Jilid I. Erlangga: Jakarta. 2010